Alat Musik Yang Terlupakan
Sebagai bagian dari rumpun melayu, Provinsi Jambi kaya dengan khasanah peninggalan budaya. Alat Musik tradisional salah satunya. Meski tak lagi popular, tetap saja ada segelintir orang yang masih kerap menggunakan alat musik ini dalam pertunjukan. Memang kebanyakan mereka tak lagi muda.Azhar MJ selalu menyertakan alat musik tradsional Jambi dalam setiap pertunjukan. Dia juga tergabung dalam kelompok Mindulahim yang memang identik dengan khasanah melayu.
Menurutnya, alat musik tradisional Jambi memiliki kekhasan meski dari segi bentuk mirip dengan alat musik dari daerah lain maupun alat musik modern. “Bedanya itu di nada. Kalau secara umum nada itu do re mi fa so la si do. Kalau nada Jambi hanya lima yakni do, re, mi, so, la,” ujarnya saat ditemui di Taman Budaya Jambi.Untuk jenis Alat Musik tradisional, kata Azhar sebagian besar ditabuh atau dipukul. Seperti gendang. Biasanya terbuat dari kulit. Bentuknya bermacam-macam. Alat musik lainnya yakni rebana sike, gendang melayu, merwis, rebana renduk, kompangan, dan bedug. “Cara menggunakannya beda-beda. Kompangan misalnya dengan cara dipegang, gendang melayu dipangku, tapi ada juga yang didudukkan saja,” ujarnya.
Kemudian, ada juga alat tabuh yang terbuat dari perunggu. Jenis juga beragam. Bentuknya seperti gong. Kalau di Mandiangin, Kabupaten Sarolangun disebut kromong, ada juga yang dikenal tetawak dan canang. “Ini juga dikenal di Sabak (Muarasabak, Tanjab Timur) dan Kota Jambi,” katanya.
Canang merupakan alat musik idiofon dari perunggu yang terdapat di Jambi. Canang terdiri atas 4-5 alat berbentuk bonang dengan garis tengah antara 30 dan 40 cm. Alat ini diletakkan berjejer di atas kerangka kayu atau rentangan rotan. Sebagai pemukul, digunakan sepotong kayu atau rotan. Sepasang canang dapat dimainkan oleh satu orang, adakalanya dimainkan oleh dua orang.
Sementara, tetawak merupakan sejenis alat musik berbentuk gong. Alat ini dibuat dari perunggu dengan ukuran yang lebih kecil dari gong dan ditabuh dengan alat pukul khusus seperti penabuh gong. Tetawak di Jambi bergaris tengah 35 sampai 40 cm. cara menabuhnya mirip dengan cara menabuh gong.Kemudian yang terbuat dari kayu, ada Alat Musikkelintang. Cara memainkannya dengan dipukul mengginakan stik terbuat dari kayu. Kelintang dipangku di atas kaki sambil berselonjor. Untuk alat tiup, ada sulit yang terbuat dari bambu. Jenisnya, ada seruling yang ditiup dari samping dan serdam yang ditiup lurus. Ada juga cangor.
Azhar mengatakan, alat-alat musik tradisional ini tak lagi sering digunakan. Kecuali rebana dan kompangan. Kompangan sering digunakan karena masih dipakai saat pernikahan. “Sementara yang lainnya jika ada pertunjukan resmi saja,” ujar pria kelahiran 24 Agustus 1961 ini.
Orang yang bisa memainkannya pun tak lagi banyak. Generasi muda tak begitu tertarik untuk mempelajarinya. Meski di TBJ tetap ada sanggarnya. “Kebanyakan menekuni seni tari, teater,” lanjut alumni Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta itu. Memang, dari TBJ sendiri masih ada beberapa pelajar yang tertarik latihan alat musik tradisional. “Tapi jumlahnya paling belasan orang saja,” kata Azhar yang juga staf TBJ.
Hal senada dikatakan Erie Argawan. Pria spesialisasi gendang ini mengaku tidak ada upaya mengenalkan generasi muda terhadap alat musik tradisional Jambi. Maka seiring waktu, alat musik ini akan hilang dengan sendirinya. “Karena rata-rata pemainnya sudah tua,” ujar pria yang tergabung dalam grup Sekintang Dayu.
Karenanya, dia berharap ada upaya dari pemerintah untuk melestarikan budaya ini dengan memasukkan materi alat musik tradisional Jambi dalam muatan lokal di sekolah. Dengan begitu, katanya, anak-anak muda bisa mengenali khasanah budayanya sendiri. “Sehingga seni musik tradsional Jambi tetap ada. Ini juga bisa melatih otak kanan anak dan wawasan anak terhadap alat musik itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, alat musik tradisional Jambi memiliki kekhasan meski dari segi bentuk mirip dengan alat musik dari daerah lain maupun alat musik modern. “Bedanya itu di nada. Kalau secara umum nada itu do re mi fa so la si do. Kalau nada Jambi hanya lima yakni do, re, mi, so, la,” ujarnya saat ditemui di Taman Budaya Jambi.Untuk jenis Alat Musik tradisional, kata Azhar sebagian besar ditabuh atau dipukul. Seperti gendang. Biasanya terbuat dari kulit. Bentuknya bermacam-macam. Alat musik lainnya yakni rebana sike, gendang melayu, merwis, rebana renduk, kompangan, dan bedug. “Cara menggunakannya beda-beda. Kompangan misalnya dengan cara dipegang, gendang melayu dipangku, tapi ada juga yang didudukkan saja,” ujarnya.
Kemudian, ada juga alat tabuh yang terbuat dari perunggu. Jenis juga beragam. Bentuknya seperti gong. Kalau di Mandiangin, Kabupaten Sarolangun disebut kromong, ada juga yang dikenal tetawak dan canang. “Ini juga dikenal di Sabak (Muarasabak, Tanjab Timur) dan Kota Jambi,” katanya.
Canang merupakan alat musik idiofon dari perunggu yang terdapat di Jambi. Canang terdiri atas 4-5 alat berbentuk bonang dengan garis tengah antara 30 dan 40 cm. Alat ini diletakkan berjejer di atas kerangka kayu atau rentangan rotan. Sebagai pemukul, digunakan sepotong kayu atau rotan. Sepasang canang dapat dimainkan oleh satu orang, adakalanya dimainkan oleh dua orang.
Sementara, tetawak merupakan sejenis alat musik berbentuk gong. Alat ini dibuat dari perunggu dengan ukuran yang lebih kecil dari gong dan ditabuh dengan alat pukul khusus seperti penabuh gong. Tetawak di Jambi bergaris tengah 35 sampai 40 cm. cara menabuhnya mirip dengan cara menabuh gong.Kemudian yang terbuat dari kayu, ada Alat Musikkelintang. Cara memainkannya dengan dipukul mengginakan stik terbuat dari kayu. Kelintang dipangku di atas kaki sambil berselonjor. Untuk alat tiup, ada sulit yang terbuat dari bambu. Jenisnya, ada seruling yang ditiup dari samping dan serdam yang ditiup lurus. Ada juga cangor.
Azhar mengatakan, alat-alat musik tradisional ini tak lagi sering digunakan. Kecuali rebana dan kompangan. Kompangan sering digunakan karena masih dipakai saat pernikahan. “Sementara yang lainnya jika ada pertunjukan resmi saja,” ujar pria kelahiran 24 Agustus 1961 ini.
Orang yang bisa memainkannya pun tak lagi banyak. Generasi muda tak begitu tertarik untuk mempelajarinya. Meski di TBJ tetap ada sanggarnya. “Kebanyakan menekuni seni tari, teater,” lanjut alumni Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta itu. Memang, dari TBJ sendiri masih ada beberapa pelajar yang tertarik latihan alat musik tradisional. “Tapi jumlahnya paling belasan orang saja,” kata Azhar yang juga staf TBJ.
Hal senada dikatakan Erie Argawan. Pria spesialisasi gendang ini mengaku tidak ada upaya mengenalkan generasi muda terhadap alat musik tradisional Jambi. Maka seiring waktu, alat musik ini akan hilang dengan sendirinya. “Karena rata-rata pemainnya sudah tua,” ujar pria yang tergabung dalam grup Sekintang Dayu.
Karenanya, dia berharap ada upaya dari pemerintah untuk melestarikan budaya ini dengan memasukkan materi alat musik tradisional Jambi dalam muatan lokal di sekolah. Dengan begitu, katanya, anak-anak muda bisa mengenali khasanah budayanya sendiri. “Sehingga seni musik tradsional Jambi tetap ada. Ini juga bisa melatih otak kanan anak dan wawasan anak terhadap alat musik itu sendiri,” ujarnya.
0 comments:
Posting Komentar